Kopi Hangat dan Semangkok Kerinduan di Kedai Desa Dingin

Mie instan dan secangkir kopi hitam di Kedai Desa Dingin. VisitLumajang/dna

Beberapa pekan lalu, di bulan Ramadhan saya sempatkan singgah di Kedai Desa Dingin, Gucialit Lumajang. Nama kedai yang satu ini memang sering muncul di timeline beberapa media sosial tentang Lumajang, tentang khas kopi hitam asli Gucialit dan tentu suasananya yang jauh dari perkotaan.

Beragam sajian kopi Gucialit dapat kamu nikmati di sini, sebut saja Special Arabica/Robusta, Premium Arabica/Robusta, Robusta Milk hingga Kopi Nongko yang namanya sedang naik daun belakangan ini. Kesemuanya dapat dinikmati dengan harga terjangkau dan kualitas rasa yang tak kalah dengan kafe-kafe di kota.

Untuk sajian tehnya sendiri juga bermacam-macam rek, mulai Black Tea, Green Tea, Cream Tea, Milk Tea sampai Teh Tarik, kesemuanya merupakan teh dari Gucialit yang memang area perkebunan teh nasional. Selain itu minuman lain seperti Wedang Jahe atau Temulawak juga bisa kamu nikmati sekedar untuk membuat badanmu kembali segar.

Kedai kopi yang satu ini memang cukup istimewa, apalagi dengan interior tempatnya yang sederhana dan elegan, juga pelayanannya yang ramah. Lebih istimewa lagi karena saat itu saya ditemani langsung oleh Mas Irawan, tokoh pemuda setempat dari Gucialit Organisasi Wisata Alam (G'OWA).

Sambil menyantap mie instan spesial, kepada saya Irawan mengatakan bahwa Kedai Desa Dingin ini merupakan bentuk kreatifitas anak muda di Gucialit untuk mengembangkan potensi kewirausahaannya. Selain untuk menambah income bagi mereka, kedai ini juga punya andil untuk keberlangsungan G'OWA dan konsep ekowisata yang sedang mereka galakkan.

Banyak dari mereka yang datang ke Gucialit belakangan ini mengakui, bahwa dengan hadirnya kedai ini menjadi pelengkap bagi destinasi wisata yang ada di Gucialit. Sekarang, sebagian besar mereka yang berkunjung ke Kebun Teh Kertowono Gucialit selalu menyempatkan diri untuk singgah di kedai ini.

Kedai Desa Dingin menjadi saksi atas kerinduan para petualang yang hinggap di sudut-sudut ruang media sosial, sebagai penanda bahwa Gucialit memang layak untuk dikunjungi.[]