Selendang Cindepancawarna Kelengkapan Pakaian Khas Dukun Adat Tengger

Gambaran Selendang Cindepancawarna. Foto: Dinas Pariwisata Kabupaten Lumajang

Selendang Cindepancawarna menjadi salah satu budaya yang menarik dari Suku Tengger. Selendang Cindepancawarna merupakan kain panjang kuno yang menjadi salah satu kelengkapan pakaian Dukun Adat Tengger biasanya dikenakan saat memimpin ritual.

Website Dinas Pariwisata Kabupaten Lumajang menyampaikan bahwa, selendang diwariskan secara turun temurun dan hanya dimiliki oleh dukun yang dipakai saat memimpin ritual, jadi dapat digolongkan sebagai benda upacara yang sakral. Sayangnya saat ini hanya tersisa 4 Selendang Cindepancawarna yang dipakai oleh para dukut adat.

Selendang Cinde Pancawarna biasa digunakan oleh Dukun Tengger pada sejumlah upacara ritual adat seperti upacara Karo, Unan-unan dan Bersih Desa. Cara memakainya, selendang dililitkan pada tubuh dukun dengan bentuk Swastika atau dalam bahasa Sansekerta berarti keberuntungan atau kesejahteraan.

Jenis kain yang digunakan untuk selendang Cinde Pancawarna merupakan perkembangan dari kain Nusantara atau Tenun Ikat Patola yang memiliki pengaruh dari Gujarat, India Utara yang disebut dalam masyarakat Jawa sebagai Kain Cinde.

Motif kain ini berkembang di Indonesia terutama di wilayah Timur yang sebagian besar memiliki rupa corak dasar dan ragam hias manusia, flora, fauna, dan benda-benda lain yang berbentuk geometris. Proses pembuatan selendang Cinde Pancawarna menggunakan teknik tenun ikat ganda yang cukup rumit.

Ragam hias yang ada pada Kain Patola dianggap sebagai kain keramat dan sering dikaitkan dengan dunia gaib. Selain itu juga dihubungkan dengan makna kelahiran, kehidupan, pernikahan dan kematian manusia.

Memiliki motif yang unik dan jarang dijumpai, membuat Selendang Cindepancawarna sulit untuk didapatkan. Apalagi diliat dari kegunaannya sebagai pakaian khusus Dukun Tengger untuk memimpin ritual, maka perlu adanya konservasi Selendang Cindepancawarna sebagai upaya dari pelestarian budaya.