Si Cawan Perawan

Cangkrukan di Kedai Desa Dingin Gucialit (Dok. Pribadi)

Kepo itu baik

 

Pagi hingga siang beranjak menuju petang, hasratku untuk menilik lebih jauh kota ini tak kunjung padam. Bagiku mengenal budaya dan kebiasaan masyarakat setempat akan mempermudah proses adaptasiku. Kususuri kota saat malam, dimana setiap sudut kota banyak penjual kaki lima berjajar. Kulihat sekelompok orang duduk lesehan, asik bercengkrama. Kopi hitam dan suguhan beberapa makanan tak ketinggalan.

Dilihat dari gaya dan penampilannya, mereka berasal dari berbagai strata sosial. Logat Jawa dan Madura terdengar kental di telingaku diiringi tawa lepas dari mulut mereka. Cangkrukan, orang Lumajang menyebutnya. Sebutan unik yang baru kudengar. Ternyata cangkrukan bukan hanya sekedar minum kopi dan berkumpul bersama, namun lebih ke arah kegiatan untuk melepas penat, bersosialisasi, berdiskusi, dan berinteraksi secara sederhana, murah, dan mengena. Cangkrukan yang tak pernah mati hingga pagi menjelang. Budaya yang sudah ada dari dulu hingga sekarang.