Gunungsari dan Godril, Gerak Kebudayaan dalam Bingkai Sejarah Tayub (1)

Festival Tari Godril pada Harjalu 761. Via Ainul Yakin.

Perkembangan Godril di Lumajang Setelah Kemerdekaan

Tayub dan kesenian Tandak pada perkembangannya tetap hidup dan menjadi bagian budaya Jawa. Meskipun setelah berbagai pergolakan menjelang dan setelah Indonesia merdeka, kesenian tersebut mulai berkurang. Perang dan penderitaan bertahun-tahun akibat banyak perang, membuat kesenian ini sudah mulai jarang digelar di daerah-daerah.

Beruntung pada tahun 1988 - 1993, Lumajang dipimpin oleh Bupati HM. Samsi Ridwan. Istri Bupati, Ny. Samsi Ridwan adalah orang yang sangat mencintai kesenian. Sebagai seorang polisi yang pernah menjadi penari di istana, beliau ingin menghidupkan kegiatan berkesenian di Kabupaten Lumajang.

Sekitar tahun 1991, Ny. Samsi Ridwan mengumpulkan seluruh grup Tandak dan seniman di Kabupaten Lumajang. di hadapan jajaran pemerintah kala itu, grup-grup Tandak menampilkan keseniannya masing-masing.

Setelah serangkaian pertunjukan oleh para penandak, Ny. Samsi Ridwan berdialog dan memberikan tugas khusus kepada semua seniman yang hadir. Mereka diberi mandat untuk membuat gerak Tandak yang terstruktur dan berpola dengan utuh. Beliau ingin kesenian Tandak tak hanya menjadi bagian Tayub seperti jaman dulu, yang hanya mengandalkan rangkaian gerak tanpa pola. Beliau ingin para seniman Tandak untuk menjadikan gerakan-gerakan itu menjadi sebuah tari.

Dari situlah sanggar-sanggar seni di Lumajang berlomba menciptakan kreasi Tari Godril Lumajangan. Mereka memiliki variasi gerakan dan busana masing-masing, semua berusaha menggabungkan gerak Tandak, Gending Jawa dan unsur modern sehingga terciptalah rangkaian-rangkaian tari yang kita kenal sekarang dengan Tari Godril Lumajangan.