Gunungsari dan Godril, Gerak Kebudayaan dalam Bingkai Sejarah Tayub (1)

Festival Tari Godril pada Harjalu 761. Via Ainul Yakin.

Tayub dalam Upacara Bersih Desa

Seperti halnya tempat lain di Jawa, desa-desa di Lumajang dulu biasa menggelar sedekah desa. Tradisi ini rutin digelar sejak sebelum Indonesia merdeka, sebagai bagian tradisi Satu Suro. Dalam tradisi sedekah desa ini seluruh penduduk membawa tumpeng masing-masing, untuk dibawa ke balai desa.

Prosesi desa tersebut diawali ujub dan doa oleh sesepuh desa, untuk mendoakan keselamatan desa dan warga. Setelah itu seluruh penduduk desa makan bersama. Tradisi makan bersama ini dalam pitutur Jawa juga biasa disebut Kembul Bujana (makan bersama).

Setelah itu prosesi selanjutnya dalam sedekah desa adalah Ular-Ular. Ular-ular merupakan bentuk pidato yang berisi nasehat atau harapan. Yang biasa memberikan ular-ular antara lain:

  1. Ndoro Sten (Asisten; sekarang setingkat Camat)
  2. Mantri Polisi (sekarang Sekretaris Camat)
  3. Lurah

Tak hanya tantang nasehat atau harapan. Ketiganya berpidato bergiliran juga menerangkan tata laksana kepemimpinan, kedaerahan dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah, juga pemerintah terhadap rakyat.

Selanjutnya penduduk desa melakukan Larung Desa atau Larung Sengkala, untuk membuang nasib sial. Larung itu, "Mbuang seba sengkala, sukerti dan sukerto dibuang," terang Ibu Tuti Susilarsih.

Harapan setelah diadakannya Bersih Desa antara lain agar daerah tersebut gemah ripah loh jinawi, tidak kurang sandang pangan, subur, panen berlimpah, penduduk makmur. Pada makna umumnya, Bersih Desa atau Sedekah Desa sebenarnya merupakan bentuk terimakasih masyarakat atas nikmat yang telah mereka terima dari Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah semua prosesi itu dalam bersih desa, barulah Tayub digelar sebagai hiburan.