Eskapisme Politik Dalam Kebuntuan Komunikasi Koalisi Besar

Ilustrasi. Foto: Element5 Digital/Pexels

Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan mencuatnya ide gagasan koalisi besar yang diprakarsai oleh Airlangga Hartanto selaku Ketua Umum Partai Golkar (Golongan Karya).

Koalisi besar ini berisi gabungan Partai yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari GOLKAR, PAN, PPP serta Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari GERINDRA dan PKB yang akhirnya dinamakan sebagai Koalisi Kebangsaan.

Koalisi ini disinyalir hadir sebagai upaya untuk meneruskan arah pembangunan Presiden Jokowi dengan membuat stabilitas politik di pemerintahan kedepan. Ada pula yang beranggapan bahwa koalisi besar ini dibentuk guna melawan Anies Baswedan di tahun 2024 yang diusung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS.

Koalisi gemuk semacam ini bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Hal yang hampir serupa terjadi pada 2 tahun awal pemerintahan Jokowi-JK. Saat itu pemerintah berupaya mengkosolidasikan partai politik oposisi untuk mengegolkan rencana-rencana Jokowi lewat figur-figur elit.

Alhasil, Jokowi berhasil mengelola konflik untuk menghasilkan figur-figur politik oposisi agar berbalik mendukung pemerintahannya.

Tentu, langkah-langkah semacam ini biasa dalam politik jika alasannya untuk menciptakan stabilitas politik di pemerintahan.

Akan tetapi, langkah koalisi semacam ini juga menjadi kekeliruan jika kita benturkan dengan sistem politik dan pemerintahan yang berlaku di Indonesia.