Eskapisme Politik Dalam Kebuntuan Komunikasi Koalisi Besar

Ilustrasi. Foto: WOKANDAPIX/pixabay

Apa Benar Bisa Jadi Solusi?

Win-win solution dari kondisi semacam ini adalah memunculkan tokoh baru cawapres seperti Erick Tohir yang memiliki cukup elektabilitas untuk disandingkan dengan Puan. Atau Habib lutfi untuk mengikat suara islam yang cukup besar di Indonesia. Meskipun dengan konsekuensi-konsekuensi politik yang menyertainya.

Tetapi, apa yang terjadi koalisi besar sampai detik ini tidak menemukan titik temu, terlebih saat PDIP mengumumkan ganjar pranowo sebagai Capres dari PDIP hal ini justru semakin memperenggang kondisi partai koalisi besar.

Seolah-olah yang terjadi paska deklarasi Ganjar sebagai Capres PDIP beberapa partai yang tergabung dalam koalisi besar tidak ada lagi pergerakan, KIB justru pecah  dan mempertegas gagalnya mimpi koalisi besar besutan airlangga tersebut.

Dari sekian kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kita menemukan bahwa proses dinamika ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat sebagai pemilik saham terbesar di sistem yang demokratis.

Yang terjadi adalah kebingungan elit untuk saling memasangkan tokoh seperti orang yang berdagang sapi dan kalaupun ini terjadi tujuan pembentukan koalisi besar ini tidak memiliki jaminan stabilitas yang kuat nantinya di tengah sistem yang ambigu ini. 

Solusi dari proses komunikasi politik yang cair di internal koalisi dengan kekuasaan adalah dengan melembagakan koalisi lewat undang-undang (Koalisi Permanen). Hal ini lebih jelas dan tegas jika motifasi politik dari terbentuknya koalisi ini adalah upaya untuk menciptakan stabilitas politik diperjalanan pemerintahan yang baru.

Dengan begitu, seluruh intervensi politik dari partai politik terhadap pemerintahan bisa terminimalisir demi melancarakan agenda-agenda yang bermanfaat untuk masyarakat.